![]() |
Add caption |
Masalah korupsi di Indonesia sudah termasuk masalah yang yang sulit diberantas. Salah satu sebabnya adalah masalah aturan atau hokum tentang pembuktian. Di Indonesia sudah ada UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 20 tahun 2001 tentang penyelenggara negara yang bersih dari KKN. Namun ketika dihadapkan pada pembuktian di Pengadilan, seringkali koruptor lepas dari jeratan hokum, karena Hukum Acara Pidana kita menganut asas praduga tidak bersalah. Kewajiban Penyelidik dan Penyidik membuktikan dakwaan
Tindak pidana korupsi sring dihubungkan dengan kejhatan “professional”, sehingga untuk melacak dan mencari alat bukti sering mengalami kesulitan. Dari sinilah muncul perlu ada upaya untuk pembuktian sebaliknya. Harta yang dimiliki koruptor dianggap sebagai hasil korupsi, sampai dapat dibuktikan bahwa harta itu diperoleh secara sah.
Walaupun Undang Undang di Indonesia tidak secara eksplisit membolehkan beban pembuktian terbalik, tetapi untuk kasus korupsi ada jurisprudensi dan Undang Undang yang secara implicit memungkinkan diterapkannya beban pembuktian terbalik ini. Misalnya, Undang Undang No 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang dan UU no 25 tahun 2003 tentang Gratifikasi.
Dalam hokum Islam asas praduga tidak bersalah dijunjung tinggi. Kewajiban pembuktian dibebankan kepada penuntut umum. Itulah yang dapat dipahami dari Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Al-Baihaqi dari Ibn Abbas Tapi di sisi lain ada isyarat Al-Qur’an dan Hadis yang memungkinkan ditetapkan system pembuktian terbalik.
II.KETENTUAN HUKUM
1. Pada dasarnya, hokum acara dalam Islam mewajibkan kepada penuntut umum untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
2. Asas Praduga tidak bersalah harus ditegakkan dalam menyelesaikan kasus hokum pidana
3. Dalam hal tindak pidana korupsi boleh digunakan system pembuktian terbalik
III. REKOMENDASI
1. Perlu dipertimbangkan untuk merevisi beberapa Peraturan Perundang Undangan, sehingga dimungkinkan adanya system pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi.
2. Para penegak hokum diharapkan dapat menangani dan mengadili perkara korupsi ecara professional dan mengarah pada penetapan kebenaran materil,