Sarah Zakiyah; Tantangan Guru di Era Generasi Y dan Z
“Pak, itu dadu dikocok 600 kali, faedahnya apa? Kalo main monopoli udah keburu wafat.”
“Pak, tolonglah, ngapain saya ngitung jumlah gram NaCl yang ada dalam 1 ton salju, Pak. Indonesia kan tropis, pak. Hadeeuhh lier.”
Generasi Y, alias generasi milenial yang diyakini sebagai generasi yang terlahir di kurun waktu antara 1980-2000, adalah generasi yang lahir saat teknologi mulai bergeliat. Sedangkan generasi sesudahnya yang disebut-sebut sebagai generasi Z, adalah generasi yang lahir saat kemajuan teknologi berkembang pesat. Apapun istilah yang disematkan untuk generasi-generasi pelanjut era generasi X, tantangan-tantangan zaman, khususnya untuk para guru juga mengalami peningkatan.
Guru-guru di Indonesia khususnya, masih banyak terdiri dari barisan generasi X. Akibatnya, gap antara guru dan murid tidak dapat dihindari. Kemajuan teknologi di era ini, menjadikan para murid dapat menjelajah dunia dengan hanya duduk di kursi mereka. Mereka diam, namun informasi dari berbagai belahan dunia mereka ketahui. Mereka diam, namun sejatinya mereka terhubung dengan banyak pihak. Mereka adalah digital native generation, yang lebih tertarik pada ilmu pengetahuan yang memiliki relevansi dengan kehidupan nyata mereka. Tidak heran jika kita membaca banyak komentar-komentar lucu sehabis dilangsungkannya UNBK lalu, seperti komentar-komentar di atas pada IG kemdikbud. Komentar-komentar itu selain menyiratkan kesusahan yang mereka hadapi, juga menunjukkan bahwa soal-soal yang mereka harus jawab jauh dari realita kehidupan mereka.
Era digital yang memberikan banyak kemudahan dan juga tantangan bagi para pendidik ini, mengharuskan setiap pendidik untuk dapat beradaptasi dan menciptakan generasi yang berpikir jauh melampaui kecanggihan teknologi. Membekali murid dengan keterampilan berhitung saja tidaklah cukup, guru harus mengajarkan bagaimana menggunakan teknologi untuk memudahkan kerja hitung mereka, mengajarkan kepada mereka bagaimana teknologi dan keterampilan berhitung yang mereka miliki dapat bermanfaat untuk orang lain. Oleh sebab itu, guru di era ini harus berpikir out of the box, jika tidak ingin ditinggalkan oleh murid-muridnya.
Ilmu pengetahuan yang dapat dinikmati oleh mereka kapan dan dimanapun mereka berada, menjadikan sebagian mereka menganggap sekolah bukanlah sesuatu yang penting. Karenanya, guru harus menyadari bahwa saat ini bukan lagi era transfer of knowladge, dengan memberikan pembelajaran searah, memposisikan peserta didik sebagai konsumen.
Sebagai guru, khususnya guru untuk generasi Y dan Z, haruslah memiliki berbagai inovasi metode pengajaran, agar dapat meyelaraskan cara berpikir dan mengurangi gap antara murid dan guru. Menguasai kurikulum 2013, yang berbasis pada pembentukan karakter, adalah salah satu cara agar dapat diterima oleh peserta didik generasi ini. Kurikulum 2013, sejatinya adalah metode agar guru tidak hanya mentransfer knowledge, tapi juga mentransfer value pada peserta didik. Nilai kehidupan inilah, yang tidak didapatkan oleh generasi Y maupun Z dari penjelajahan mereka di dunia digital. Kebebasan berpikir, arus karakter dan budaya, terus membanjiri mereka setiap saat, jika para pendidik tidak membekali mereka dengan nilai-nilai kehidupan yang mulia, niscaya ilmu pengetahuan yang mereka konsumsi tidak bermanfaat bagi kehidupan sosial mereka. Menanamkan nilai-nilai kehidupan bagi mereka, berarti juga mengajarkan mereka kemampuan olah pikir, olah rasa, dan olah ragawi. Agar mereka mampu memaknai, mengolah, menyaring, memilih, dan memilah informasi dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan. Akhirnya mereka memiliki kemampuan untuk menerapkan ilmu mereka dalam kehidupan sosial, kehidupan nyata yang mereka jalani, juga dapat memberikan manfaat bagi orang lain.
Yang terpenting dari pembelajaran karakter adalah pribadi guru itu sendiri. Guru harus menjadi orang yang digugu dan dan ditiru, selaras ucapan dan perbuatannya. Jika guru mengajarkan pada muridnya tentang kesehatan otak misalnya, tidak sepatutnya guru tersebut diam-diam mengakses situs-situs pornografi, atau meracuni otaknya dengan mengkonsumsi rokok dan minuman keras. Karena karakter merupakan kebiasaan diri yang mengakar pada pribadi seseorang. Tidak mungkin peserta didik berkarakter baik jika guru yang mengajarkannya berkarakter sebaliknya.
“Innamaa bu’itstu li utamammima makaarimal akhlaaq,” “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia,” sabda Nabi Muhammad SAW tentang tujuan pengutusan beliau sebagai nabi, merupakan tujuan yang sama bagi para guru yang memiliki amanah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, adalah sebaik-baik teladan dalam pendidikan dan pengajaran. Kemulian akhlak beliau tidak hanya dipuji oleh kawan, tapi juga oleh lawan. Kebencian orang-orang kafir kepada beliau, bukanlah kaena keburukan akhlak, namun karena keesaan Allah yang beliau ajarkan. Kepada sebaik-baik teladan hendaklah para guru berkaca.
Selain karakter pribadi seorang guru, ada hal lain yang mendukung kesuksesan pendidikan karakter ini. Tidak mungkin bagi seorang guru menanamkan karakter baik pada peserta didiknya jika lingkungan tempat tinggalnya yang berputar pada, lingkungan rumah, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakatnya tidak menerapkan karakter serupa. Di sinilah dibutuhkan kerjasama antarpendidik yaitu, orang tua di rumah, guru di sekolah, dan masyarakat lingkungannya. Agar hasil maksimal dari pendidikan karakter ini didapatkan.
Transfer of value, berarti juga mengenalkan peserta didik tentang siapa diri mereka sebenarnya, apa tujuan penciptaan mereka di dunia ini, dan kepada siapa mereka akan kembali. Pertanyaan-pertanyaan seputar penciptaan manusia tidak pernah mencapai kata usai, selalu menjadi masalah hangat yang dibicarakan dari waktu ke waktu. Guru era ini, harus mampu memberikan jawaban sesuai fitrah penciptaan peserta didik. Mampu menunjukkan jalan dan memberi penerangan, agar peserta didik tidak tersesat dalam hutan informasi dan ilmu pengetahuan yang mengelilingi mereka. Jika setiap anak didik telah memahami tujuan penciptaan mereka, menyadari bahwa gerak-gerik mereka selalu diawasi oleh Allah, Sang Pencipta, niscaya esensi pendidikan yang merupakan proses menyadarkan manusia untuk mencapai taraf hidup untuk kemajuan yang lebih baik, akan dicapai. Setiap pribadi akan sadar bahwa ia memiliki tanggung jawab untuk memajukan dan memberikan kontribusi untuk kemajuan peradaban.
Oleh: Siti Sarah Zakiyah, Lc.
Email: zakiyahsarah@gmail.com




Jangan Sampai Anak Jadi Korban Sekolah yang Hanya Mencetak Angka!
1 hari yang lalu

quote
1 hari yang lalu

quote
1 hari yang lalu

Menjadi Generasi Qur’ani Unggul dengan Bahasa dan Sains
1 hari yang lalu

Saatnya Memilih Sekolah Terbaik untuk Masa Depan Anak Ayah Bunda!
1 hari yang lalu